PENINGKATAN PENANGANAN PERKARA KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

Satria Ferry

Abstract


Penangan Perkara Tindak Pidana Korupsi oleh Jaksa dimulai dengan pelaksanaan Penyidikan, selanjutnya Penuntutan dan Pelaksanaan Putusan, persoalan mendasar dalam pelaksaan penanganan ini adalah persoalan penyidikan, karena akan menentukan keseluruhan proses selanjutnya. Kewenangan Jaksa sebagai sebagai penyidik untuk saat ini secara khusus disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menentukan bahwa Kejaksaan di bidang Kejaksaan mempunyai tugas dan kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Tindak pidana tertentu tersebut dapat diartikan berupa kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana khusus seperti halnya tindak pidana korupsi, Namun demikian Kejaksaan sebagai penyidik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi belum membawa hasil maksimal.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, di mana Jaksa bertindak sebagai penyidik merangkap sebagai penuntut umum dan untuk menyelesaikan kewajibannya tersebut Jaksa harus bekerja sama dengan pihak lain baik secara perseorangan, badan hukum dan instansi pemerintah. Akibat hukum yang timbul akibat rendahnya tingkat penyelesaian kasus korupsi telah menimbulkan tanggapan miring dan kekurang percayaan atas indenpendensi Kejaksaan khususnya terhadap pihak Jaksa penyidik yang menangani perkara. Hambatan yang dihadapi penyidik Kejaksaan adalah hambatan (eksternal) seperti kurangnya respon masyarakat untuk berani melapor adanya tindakan korupsi atau barang bukti korupsi, kedudukan saksi dan pelaku yang dinyatakan sebagai terdakwa yang sering berpindah-pindah tempat tinggal menghambat penyidikan serta kesulitan menemukan harta benda tersangka atau keluarganya yang didapat dari hasil tindak pidana korupsi. Sedangkan hambatan internal yaitu kurangnya kemampuan sumber daya manusia aparat termasuk dalam hal ini jumlah personel Jaksa yang memiliki kemampuan dalam penanganan kasus korupsi, lemahnya manajemen dalam penanganan kasus, keterbatasan sarana dan parasarana, koordinasi dengan lembaga lain serta ketentuan perundang-undangan yang sering menjadi kesalahan penafsiran dalam penanganan kasus korupsi.
Disarankan agar dalam penanganan perkara korupsi Jaksa yang berperan sebagai penyidik dan penuntut umm secara sungguh-sungguh guna didapatkannya bukti-bukti yang kuat sehingga dapat dilimpahkan ke pengadilan. Disarankan kepada Jaksa guna menghindari pandangan miring masyarakat hendaknya dalam proses penanganan tindak pidana korupsi khususnya dalam penyidikan dan penuntutan kasus tindak pidana korupsi sesuai dengan aturan yang berlaku. Disarankan untuk menghindari tunggakan perkara dan memenuhi rasa keadilan masyarakat Kejaksaan RI tetap diberikan kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, tidak hanya terbatas tindak pidana korupsi dan HAM serta bertindak selaku koodinator penyidik. Selain itu, guna menerobos prosedur khusus yang selama ini dipandang menghambat proses penyidikan, selain meningkatkan kesejahteraan aparatur pemerintah serta memberdayakan pengawasan secara efektif dan efisien.

Kata Kunci : Kejaksaan, Penyidikan, Penuntutan, dan Korupsi

Full Text:

PDF

References


Denny Indrayana, Negeri Para Mafioso Hukum di Sarang Koruptor, Peberbit Buku Kompas, Jakarta, 2008.

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Poerwadarminta dalam Suryono, Sutarto. Hukum Acara Pidana Jilid I. Universitas Diponegoro, Semarang, 2004.

T.A. Legowo, “The Bureaucracy & Reformâ€, sebagaimana dikutip oleh Richard W. Backer dalam “Birokrasi dalam Polemikâ€, Moeljarto Tjokrowinoto, Pusat Studi Kewilayahan UMM dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan ke-2, 2004, hlm. 17.

LiekWilardjo, Resolusi, Kompas, 2 Januari 2006.

Yudi Kristiana, Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan Dengan Pendekatan Hukum Progresif, Makalah S eminar ini diselenggarakan oleh Learning Center Perkumpulan HuMa bekerjasama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan(LeIP) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) tanggal 19 Januari 2010.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Surat Edaran Jaksa Agung R.I. Nomor: SE-001/J.A/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.




DOI: http://dx.doi.org/10.22373/justisia.v2i1.2643

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

 
Indexed by:

Justisia Justisia Justisia Justisia Justisia

Justisia Justisia Justisia Justisia Justisia Justisia

Justisia Justisia Justisia Justisia

 
Tools:

Justisia Justisia Justisia Justisia Justisia

All papers published in Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial are licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.



Social Media: