Pengembalian Tanda Pertunangan Karena Gagal Pernikahan (Analisis Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Mahar Dalam Perspektif Fiqh, Undang-undang dan Adat Aceh)
DOI:
https://doi.org/10.22373/ujhk.v1i2.7636Keywords:
Tanda Tunangan, Fatwa MPU Aceh No 5 2016, Mahar, Undang-undang dan Adat AcehAbstract
Praktek pertunangan dalam masyarakat adat di Aceh biasa dilakukan dengan pemberian tanda pertunangan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, baik sifatnya hadiah ataupun panjar mahar. Tanda ini dijadikan sebagai bukti keseriusan kedua pasangan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Apabila pertunangan dibatalkan dari pihak perempuan, ia wajib menanggung denda dua kali lipat dari tanda pertunangan tersebut. Sebaliknya, tanda pernikahan dihitung hangus jika yang membatalkan pihak laki-laki. Kenyataan semacam ini memicu banyak tanggapan dan pandangan. Dalam hal ini, MPU Aceh telah mengeluarkan fatwa mahar mengenai status hukumnya. Adapun pertanyaan pernelitian ini adalah apa yang melatar belakangi MPU Aceh mengeluarkan Fatwa Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Mahar dalam Perspektif Fiqh, Undang-Undang dan Adat Aceh, dan bagaimana dalil dan metode istinbāṭ yang digunakan MPU Aceh dalam menetapkan fatwa. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui metode analisis-normatif. Hasil penelitian ini yaitu: Pertama, fatwa MPU Aceh Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Mahar dalam Perspektif Fiqh, Undang-Undang dan Adat Aceh dikeluarkan dengan sebab prakrek pemberian mahar dan hal-hal lainya yang berkenaan dengannya dipandang perlu untuk dikaji. Kemudian, terdapat beragam pandangan masyarakat tentang mahar, khususnya dalam pengembalian tanda pertunangan karena gagal pernikahan. Ragam pandangan tersebut berpotensi menimbulkan disharmonisasi antar masyarakat. Oleh sebab itu, fatwa mahar dipandang perlu untuk ditetapkan. Kedua, dalil yang digunakan MPU Aceh dalam menetapkan fatwa mahar yaitu Alquran surat al-Nisā’ ayat 4, Hadis riwayat Bukhari dari Abdullah bin Maslamah, Ijma’ ulama, dan kaidah fikih. Keempat dalil tersebut berkaitan dengan kewajiban laki-laki memberikan mahar dan menjadi hak penuh isterinya. Adapun metode istinbāṭ yang digunakan MPU Aceh yaitu cenderung memakai metode bayani atau lughawiyah, yaitu metode dengan melihat kaidah kebahasan. Kaitan dengan pengembalian mahar, MPU Aceh memandang mahar itu menjadi kewajiban suami dan menjadi hak isteri ketika akad nikah telah dilangsungkan. Sebaliknya, mahar yang diberikan sebagai tanda pertunangan wajib dikembalikan ketika pernikahan gagal dilaksanakan. Sebab, hak mahar hanya diterima saat nikah bernar-benar telah diakadkan.
References
‘Abd al-Rāḥmān al-Jazīrī, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Mażāhib al-Arba’ah, juz 4, Bairut: Dār al- Kutb al-‘Ilimiyyah, 2003.
A. Hamid Sarong, Hukum Pekawinan Islam di Indonesia, cet. 3, Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2010.
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 9.
Abī al-Ḥasan ‘Alī bin MUḥammad bin Ḥabīb al-Māwardī al-Baṣrī, al-Ḥāwī al-Kabīr: fi Fiqh Mażhab al-Imām al-Syāfi’ī, Juz IX, Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994.
Abī Dāwud Sulaimān bin al-Asy’aṡ al-Sajastānī, Sunan Abī Dāwud, Riyadh: Bait al-Afkār al-Dauliyyah Linnasyr, tt.
Abī Muḥammad ‘Abdillāh bin Aḥmad bin Muḥammad bi Qudāmah, al-Mughnī al-Syarḥ al-Kabīr, VIII, Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, tt.
Abī’Abdillāh Muḥammad bin Abī Bakr bin Ayyūb al-Zar’ī bin Qayyim al-Jauziyyah, Tahżib al-Sunan, Juz I, Riyadh: Maktabal al-Ma’ārif, 2007.
Abī’Abdillāh Muḥammad bin Abī Bakr bin Ayyūb al-Zar’ī bin Qayyim al-Jauziyyah, ‘Aun al-Ma’būd Syarḥ Sunan Abī Dāwud, Juz VI, Riyadh: Maktabah al-Salafiyyah, 1968.
Abū Muḥammad ‘Alī bin Aḥmad bin Sa’īd bin Ibn Ḥazm al-Andalusī, al-Muḥallā bi al-Aṡār, Juz IX, Bairut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 2003.
Achmad Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz, al-Munawwir: Kamus Indonesia Arab, Surabaya: Pustaka Progressif, 2007.
Downloads
Published
Issue
Section
License
Authors who publish in El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga agree to the following terms:
Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed Attribution-ShareAlike 4.0 International (CC BY-SA 4.0) that allows others to share the work with an acknowledgment of the work's authorship and initial publication in this journal.
Authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal's published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgment of its initial publication in this journal.
Authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work. (See The Effect of Open Acces)