PENINGKATAN PENANGANAN PERKARA KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
DOI:
https://doi.org/10.22373/justisia.v2i1.2643Abstract
Penangan Perkara Tindak Pidana Korupsi oleh Jaksa dimulai dengan pelaksanaan Penyidikan, selanjutnya Penuntutan dan Pelaksanaan Putusan, persoalan mendasar dalam pelaksaan penanganan ini adalah persoalan penyidikan, karena akan menentukan keseluruhan proses selanjutnya. Kewenangan Jaksa sebagai sebagai penyidik untuk saat ini secara khusus disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menentukan bahwa Kejaksaan di bidang Kejaksaan mempunyai tugas dan kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Tindak pidana tertentu tersebut dapat diartikan berupa kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana khusus seperti halnya tindak pidana korupsi, Namun demikian Kejaksaan sebagai penyidik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi belum membawa hasil maksimal. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, di mana Jaksa bertindak sebagai penyidik merangkap sebagai penuntut umum dan untuk menyelesaikan kewajibannya tersebut Jaksa harus bekerja sama dengan pihak lain baik secara perseorangan, badan hukum dan instansi pemerintah. Akibat hukum yang timbul akibat rendahnya tingkat penyelesaian kasus korupsi telah menimbulkan tanggapan miring dan kekurang percayaan atas indenpendensi Kejaksaan khususnya terhadap pihak Jaksa penyidik yang menangani perkara. Hambatan yang dihadapi penyidik Kejaksaan adalah hambatan (eksternal) seperti kurangnya respon masyarakat untuk berani melapor adanya tindakan korupsi atau barang bukti korupsi, kedudukan saksi dan pelaku yang dinyatakan sebagai terdakwa yang sering berpindah-pindah tempat tinggal menghambat penyidikan serta kesulitan menemukan harta benda tersangka atau keluarganya yang didapat dari hasil tindak pidana korupsi. Sedangkan hambatan internal yaitu kurangnya kemampuan sumber daya manusia aparat termasuk dalam hal ini jumlah personel Jaksa yang memiliki kemampuan dalam penanganan kasus korupsi, lemahnya manajemen dalam penanganan kasus, keterbatasan sarana dan parasarana, koordinasi dengan lembaga lain serta ketentuan perundang-undangan yang sering menjadi kesalahan penafsiran dalam penanganan kasus korupsi. Disarankan agar dalam penanganan perkara korupsi Jaksa yang berperan sebagai penyidik dan penuntut umm secara sungguh-sungguh guna didapatkannya bukti-bukti yang kuat sehingga dapat dilimpahkan ke pengadilan. Disarankan kepada Jaksa guna menghindari pandangan miring masyarakat hendaknya dalam proses penanganan tindak pidana korupsi khususnya dalam penyidikan dan penuntutan kasus tindak pidana korupsi sesuai dengan aturan yang berlaku. Disarankan untuk menghindari tunggakan perkara dan memenuhi rasa keadilan masyarakat Kejaksaan RI tetap diberikan kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, tidak hanya terbatas tindak pidana korupsi dan HAM serta bertindak selaku koodinator penyidik. Selain itu, guna menerobos prosedur khusus yang selama ini dipandang menghambat proses penyidikan, selain meningkatkan kesejahteraan aparatur pemerintah serta memberdayakan pengawasan secara efektif dan efisien. Kata Kunci : Kejaksaan, Penyidikan, Penuntutan, dan KorupsiReferences
Denny Indrayana, Negeri Para Mafioso Hukum di Sarang Koruptor, Peberbit Buku Kompas, Jakarta, 2008.
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Poerwadarminta dalam Suryono, Sutarto. Hukum Acara Pidana Jilid I. Universitas Diponegoro, Semarang, 2004.
T.A. Legowo, “The Bureaucracy & Reformâ€, sebagaimana dikutip oleh Richard W. Backer dalam “Birokrasi dalam Polemikâ€, Moeljarto Tjokrowinoto, Pusat Studi Kewilayahan UMM dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan ke-2, 2004, hlm. 17.
LiekWilardjo, Resolusi, Kompas, 2 Januari 2006.
Yudi Kristiana, Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan Dengan Pendekatan Hukum Progresif, Makalah S eminar ini diselenggarakan oleh Learning Center Perkumpulan HuMa bekerjasama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan(LeIP) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) tanggal 19 Januari 2010.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Surat Edaran Jaksa Agung R.I. Nomor: SE-001/J.A/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Downloads
Published
Issue
Section
License
The Authors submitting a manuscript do so on the understanding that if accepted for publication, copyright of the article shall be assigned to Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial, Ar-Raniry State Islamic University, Indonesia as the publisher of the journal.
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial right of first publication with the work simultaneously licensed under Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License (CC BY-SA 4.0) that allows others to share (copy and redistribute the material in any medium or format) and adapt (remix, transform, and build upon the material) the work for any purpose, even commercially with an acknowledgment of the work's authorship and initial publication in Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial. Authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal's published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgment of its initial publication in Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial. Authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work (See The Effect of Open Access).