Epistemologi Keilmuan Kalam dan Fikih dalam Merespon Perubahan di Era Negara-Bangsa dan Globalisasi (Pemikiran Filsafat Keilmuan Agama Islam Jasser Auda)
Abstract
Keywords
Full Text:
PDFReferences
Menurut penelitian Josep van Ess, di sini lah letak perbedaan yang mencolok antara logika dan cara berpikir Mutakallimun dan Fuqaha di satu sisi dan Falasifah di sisi lain. “Aristotelian definition, however, presupposes an ontology of matter and form. Definition as used by the mutakallimun usually does not intend to lift individual phenomena to a higher, generic category; it simply distinguishes them from other things (tamyiz). One was not primarily concerned with the problem how to find out the essence of a thing, but rather how to circumscribe it in the shortest way so that everybody could easily grasp what was meanâ€. Lebih lanjut Josep van Ess, “The Logical Structure of Islamic Theologyâ€, dalam Issa J. Boullata (Ed.), An Anthology of Islamic Studies, Canada: McGill Indonesia IAIN Development Project, l992, tanpa halaman. Jasser Auda
menambahkan bahwa “ … the jurists’ method of tamyiz between conceps, whether essence-or description- based always resulted in defining every concept in relation to a ‘binary opposite.’ The popular Arabic saying goes : “Things are distinguished based on their opposites’ (bizdiddiha tatamayyaz al-ashya’)â€. Lihat Jasser Auda, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, London dan Washington: The International Institute of Islamic Thought, 2008, h. 212.
Richard C. Martin menyebut ‘general pattern’ sebagai ‘common pattern’ atau the universals of human religiousness. Lebih lanjut Martin, l985: 8).
Konsep ini saya kutip dari ceramah Prof. Dr.Tuti Herati di Denpasar, Bali dalam seminar Komisi Kebudayaan, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
Diskusi dan pembahasan serius tentang hubungan antara agama dan ilmu (Religion and Science) di tanah air, kalau saya tidak salah mengamati, sangat jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan masih dilakukan secara sporadis, tidak terprogram dan terencana. Jika Ian Barbour memetakan ada 4 pola hubungan antara keduanya, yaitu Konflik, Independen, Dialog dan Integrasi, maka yang banyak dijumpai sekarang, bahkan di perguruan tinggi sekalipun, adalah masih dalam tahapan Konflik atau paling maju adalah Independen. Belum sampai pada taraf Dialog apalagi Integrasi. Lebih lanjut Barbour (l966), juga Rolston l987). Dalam pemikiran Islam yang sampai ke tanah air masih sangat jarang dilakukan. Upaya-upaya awal dilakukan oleh Mohammad Abid al-Jabiry (al-Jabiri, 2002), juga Mohammad Syahrur (Syahrur, 2000).
Sudah barang tentu masih banyak sekali pemikir Muslim kontemporer yang lain yang mempunyai concern dan keprihatinan yang sama, seperti Abdullah Saeed dari Australia, Fethullah Gulen dari Turki/ Pensylvania, Mohammad Syahrur (Syiria), Abdul Karim Sorus (Iran), Fatimah Mernissi, Riffat Hassan, Hasan Hanafi (Mesir), Nasr Hamid Abu Zaid (Mesir), Farid Esack (Afrika Selatan), Ebrahim Moosa (Afrika Selatan), Abdullahi Ahmed al-Naim (Sudan), Tariq Ramadan, Omit Safi, Khaled Aboe el-Fadl dan lain-lain seperti Mohammad Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiry (Marokko), belum lagi para pemikir muslim dari tanah air. Pengalaman saya mengajar di program paska sarjana IAIN dan UIN, dan lebih-lebih program S 1, masih jarang mahasiswa yang mengetahui dengan baik metode dan buah pikiran para pemikir Muslim kontemporer ini.
Saya telah mengelaborasi hubungan antara ketiga kluster keilmuan Islam, yaitu antara Ulum al-Din, al- Fikr al-Islamy dan Diirasat Islamiyyah dalam tulisan “Mempertautkan Ulum al-Din, Al-Fikr al-Islamy dan Dirasat al-Isalimyyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global†dalam Saridjo (2009: 261-298).
Lebih jauh tentang Jasser Auda dapat dilacak www.jasserauda.net dan juga www.maqashid.net. Jasser Auda telah berkunjung dan memberi ceramah di fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, pada tanggal 12 September 2012 dan melaunching terjemahan bukunya ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul Maqashid bagi Pemula, terjemahan Abd Mun’im, Suka Press, 2012.
Uraian tentang autobiograpi Jasser Auda dan juga Abdullah Saeed sebenarnya dimaksudkan untuk menegaskan bahwasanya kebijakan “linearitas†dalam pengembangan keilmuan tidak begitu dapat membantu pemecahan kompleksitas kehidupan manusia, khususnya di era perubahan sosial yang begitu dahsyat. Diperlukan dialog antara berbagai disiplin ilmu. Kebijakan linearitas dirasakan akan menjadi batu penghalang bagi kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya, jika kebijakan tersebut dipahami secara sempit oleh pimpinan perguruan tinggi, lebih-lebih perguruan tinggi agama yang sejak awal memang sudah bersentuhan dengan isu-isu dan permasalahan sosial, kultural, politik, ekonomi, sains dan begitu setrusnya.
Untuk wilayah pendidikan Islam, dapat diperbandingkan dengan pengamatan dan analisis Ibrahim M. Abu-Rabi’ terhadap praktik pendidikan Islam di dunia Muslim sekarang dalam artikelnya, “A Post-September
Critical Assesment of Modern Islamic History†dalam Markham (Markham, 2002: 19-52).
Umumnya, argumen keagamaan dalam peradaban Islam selama berabad-abad hanya bertumpu pada dua aras sumbu yang berlawanan, yaitu halal-haram, qat’y dan dzanny, haq dan batil, muslim dan kafir dan begitu seterusnya. Berpikir biner seperti ini memang terasa sangat sempit. Jasser Auda ingin menggeser pola pikir yang bercorak binary opposition (oposisi biner) menjadi pola pikir keagamaan yang juga perlu mempertimbangkan multidimensionalitas dalam berpikir lewat pendekatan sistem ( A Systems approach) yang ia ajukan. bukannya sekedar oposisi biner. Lebih lanjut Jasser Auda (Auda, 2008: 156).
Untuk lebih detil, lebih lanjut Jasser Auda (Auda, 2008: l62-l68). Cermati bagaimana Jasser Auda telah secara tegas memasukkan kecenderungan pemikiran politik Islam kontemporer yang radikal dalam varian
kategori pemikiran Tradisional Islam. Bandingkan dengan Abu-Rabi’ (Abu-Rabi’, 2010).
Untuk lebih detil, lebih lanjut Jasser Auda (Auda, 2008: 168-180).
Lebih lanjut Jasser Auda (Auda, 2008: 180-191).
Dalam pengamatan saya, sudah barang tentu belum tentu benar, karena masih harus dibuktikan dengan penelitian yang mendalam di lapangan, bahwasanya mata kuliah dan diskusi filsafat ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), apalagi di lingkungan di Perguruan Tinggi Umum (PTU), belum pernah bersentuhan dengan sungguh-sungguh bangunan keilmuan ilmu-ilmu agama (Islam). Seolah-olah, para dosen dan guru agama menganggap bahwa ilmu-ilmu agama Islam hanyalah doktrin/dogma yang tidak dapat disentuh, dan melupakan kenyataan bahwasanya ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu-ilmu yang disusun dan dikonstruksi oleh akal pikiran manusia Muslim pada zamannya. Alasan yang biasa diungkapkan oleh para dosen filsafat ilmu – jika ditanya mahasiswa - jawabannya karena mereka tidak mengenal apalagi menguasai ilmu-ilmu keagamaan Islam. Dan begitu pula sebaliknya, para guru dan dosen agama di Perguruan Tinggi Agama maupun Umum tidak mengenal dengan baik/profesional tentang filsafat ilmu, lebih-lebih filsafat ilmu yang dikaitkan langsung dengan diskusi keagamaan (Islam).Tentang konsep The corrigibility of knowledege, lihat Milton K. Munitz (Munitz, 1981: 31-34).
Bandingkan dengan pandangan Abdul Karim Soroush, cendekiawan dari Iran, yang dikutip Omit Safi dalam Carl W. Ernst (Ernst, 2010: 75).
Para ahli usul fikih terdahulu, seperti Fakhr al-Din al-Razi, telah mengingatkan dari dulu adanya kesulitan ini. Setidaknya ada 9 sebab yang mendasari al-Razi berpendapat bahwa bukti yang berdasarkan pada bahasa (linguistic evidence/Dalil al Khitab) dari sebuah nash hanyalah bersifat probable (zanni). Lebih lanjut Jasser Auda (Auda, 2008: l97-8).
Disebutkan dalam al-Qur’an, surat al-Nisa’, ayat 3 sebagai berikut: “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya’ Sedang surat al-Nisa’ ayat 129 sebagai berikut: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayangâ€. Terjemahan al-Qur’an diambil dari Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, cetak hitam tambahan saya..
Ketika menulis draft tulisan pada bagian ini, saya lalu teringat ketika diberi amanat mengetuai Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, PP Muhammadiyah, antara tahun 1995-2000. Ketika itu, saya mengusulkan perlunya penulisan tafsir tematik al-Qur’an, dengan beberapa tema. Atas usulan anggota Majlis, yang pertama diprioritaskan saat itu adalah tafsir tematik yang membahas Hubungan Sosial Antarumat Beragama. Kemudian ditulislah secara kolektif (melibatkan beberapa penulis), dan saya sendiri tidak ikut menulis tetapi ikut mengedit. Dengan persetujuan Pimpinan Pusat terbitlah tafsir tersebut dengan judul Tafsir Tematik al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama, Yogyakarta, Pusataka SM, 2000. Kabarnya, buku tafsir tersebut tidak dicetak lagi, karena adanya keberatan dari sebagian anggota persyarikatan dengan alasan prosedur birokrasi keorganisasian.
Tiba-tiba sekarang saya merasa mendapat dukungan moral dan basis landasan epistemologi keilmuan yang lebih kokoh, dibandingkan ketika saya menulis hal-hal seperti ini pada tahun l997/l998. Periksa tulisan saya ketika mengambil program posdoktoral di McGill, berjudul “Preliminary Remarks on the Philosophy of Islamic Religious Scienceâ€, Al-Jami’ah, No. 61, TH., 1998, h. 1-26. Artikel ini saya susun khusus untuk mengantisipasi dan mempersiapkan konsep kerangka dasar keilmuan jika memang akan terjadi transformasi kelembagaan dan keilmuan dari IAIN ke UIN. Saat itu, IAIN Yogyakarta dan Jakarta memang sedang diminta BAPENAS untuk menulis proposal ke Islamic Development Bank (IDB). Tulisan ini kemudian diterjemahkan ke Indonesia dengan judul “Pendekatan dalam Kajian Islam: Normatif atau Historis (Membangun Kerangka Dasar Filsafat Ilmi-ilmu Keislaman)â€. Lihat Abdullah (2006: 26-67), juga Pokja Akademik, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Revisi
, Yogyakarta: Pokja Akademik Uiniversitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
Bandingkan dengan hasil penelitian al-Jabiry yang mengungkapkan bahwa hampir selama 400 tahun (dari tahun 150 H sampai dengan 550 H) seluruh khazanah intelektual Muslim yang tertulis dalam bahasa Arab (di Indonesia dikenal dengan sebutan Kitab Kuning, yang digunakan di pesantren-pesantren),menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai metode, epistemologi maupun disiplin. Lebih lanjut lihat Bunyah al- aql al-araby, h. 497-8.
Persoalan yang sama juga dihadapi oleh Abdullahi Ahmed an-Na’im ketika membahas problematika al-nasikh dan al-mansukh, antara ayat-ayat yang diturunkan di Madinah (Madaniyyah) dan ayat-ayat yang diturunkan di Makkah (Makkiyyah). Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang turun belakangan (Madaniyyah) menghapus ayat-ayat yang turun terlebih dulu (Makkiyyah). An-Naim tidak sependapat dengan cara berpikir seperti itu. Dia memilih menggunakan istilah ‘menunda’, dan bukannya
‘menghapus’. Baik istilah ‘menunda’ dan lebih-lebih ‘menghapus’ memang sangat problematik bagi Jasser
Auda. Lebih lanjut lihat an-Na’im (1996).
Uraian Jasser Auda ini mengingat kembali bagaimana Fazlur Rahman mengusulkan metode tafsir al- Qur’an dengan menggunakan pendekatan double movement (pendekatan bolak-balik) antara sisi Ideal-moral al-Qur’an - yang berdimensi universal - dan sisi legal-specific - yang dipraktikkan oleh umat Islam pada era atau periode waktu tertentu - supaya para pembaca nash-nash al-Qur’an tidak mudah terjatuh pada hanya satu sisi legal-specific, yang bersifat partial dan atomistik, dan kehilangan horison berpikir yang bermuatan ideal- moral, yang berlaku secara universal. Lebih lanjut Fazlur Rahman (Rahman, l982: 5-7).
Pembahasan detil tentang hal ini dapat dijumpai dalam Abdullahi Ahmed an-Na’im (an-Na’im, 1996) juga Baderin (2003).
DOI: http://dx.doi.org/10.22373/jms.v14i2.1871
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2017 Media Syari'ah
All papers published in Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial are licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. |